Pada wawancara itu, Herianto menjelaskan megalit yang ada di Sulawesi Tengah sebenarnya bukanlah hal yang baru, Megalit ini bahkan sudah pernah di teliti pada jaman Hindia Belanda tahun 1898 oleh Adriani dan A.C. Kruyt dalam tulisannya “Van Poso naar Parigi een Lindoe”.
Di tahun 1938 Kruyt kembali menerbitkan tulisannya “De West Toradjas in Midden Celebes” yang menyebutkan beberapa situs megalit seperti kalamba di Gimpu dan batu dulang di Mapahi, kemudian masih di tahun yang sama Walter Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan Swedia menebitkan tulisannya “Megalithic Finds in Central Celebes” dan sebuah tulisan tentang etnografi “Structure and Settlements in Central Celebes”.
"Ini yang saya katakan bukan barang yang baru tetapi diplomasi budaya hari ini kita lakukan jadi lompatan yang sangat besar, dasar pencanangan itu menjadi pondasi kita untuk menunjukkan kepada dunia bukan cuma nasional." Kata Herianto.
Lebih lanjut, ia mengatakan saat ini perlu dilakukan Main Streaming atau pengarusutamaan tentang isu-isu yang berkaitan dengan Megalit karena masih banyak masyarakat yang masih belum tau tentang apa itu Megalit.
"Perlu ada kelompok informasi masyarakat untuk membicarakan tentang itu, melakukan diskusi disertai dengan advokasi terkait kebijakan-kebijakan yang berpihak pada budaya khususnya tentang megalit." Ucap Herianto.
Seperti yang diketahui pelaksanaan pencanangan “Sulteng Negeri Seribu Megalit” yang digagas oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura akan dilakukan di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso pada 28 Oktober 2023. Adapun lokasi-lokasi Megalit yang berada di Sulawesi Tengah yaitu : Lembah Bada, lembah Besoa, dan lembah Napu di Kabupaten Poso, Lembah Palu, lembah Kulawi, dan lembah Lindu di Kabupaten Sigi.
Sumber : Museum Nasional dan Kominfo Santik Selaku Humas Pemprov. Sulteng./sugi