PorosSulteng-inakor.id-Palu- Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Dr. Bambang Hariyanto, bersama dengan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Yudi Triadi, S.H., M.H., telah mengadakan ekspose permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Acara tersebut berlangsung di Ruang Vicon Lantai 3, Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, dan dilaksanakan secara virtual dengan Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda pada Jampidum Kejagung RI, Pada Selasa, 25 Juni 2024,
Ekspose tersebut juga dihadiri oleh Aspidum Kejati Sulteng, para Kasi dan staf pada Pidum Kejati Sulteng, serta Kasi Penkum Kejati Sulteng.
Permohonan penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice diajukan oleh Kejaksaan Negeri Palu dan Kejaksaan Negeri Parigi Moutong.
Dari Kejari Palu, kasus yang diajukan adalah tersangka I Wayan Budiarman, S.H., yang didakwa melanggar pasal 49 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sementara itu, dari Kejari Parimo di Tinombo, tersangka adalah Asnia alias Mama Fiki, yang didakwa melanggar pasal 351 KUHP.
Alasan-alasan yang mendasari permohonan penghentian penuntutan dalam kasus I Wayan Budiarman adalah sebagai berikut, Korban telah memaafkan tersangka secara sukarela dan telah menyampaikan perdamaian secara lisan kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Palu.
Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.Tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp15.000.000.Tersangka masih merupakan suami sah korban.
Telah ada kesepakatan damai secara lisan dan tertulis di depan Penuntut Umum pada 14 Juli 2024.
Masyarakat merespon positif terhadap kesepakatan tersebut.
Sedangkan alasan-alasan untuk penghentian penuntutan dalam kasus Asnia alias Mama Fiki adalah sebagai berikut,Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Telah ada kesepakatan perdamaian secara lisan dan tertulis di depan Penuntut Umum antara korban dan tersangka.Tersangka dan korban masih memiliki hubungan keluarga (saudara ipar).
Tersangka menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi. Korban telah memaafkan perbuatan tersangka.Tersangka telah membiayai pengobatan korban. Masyarakat merespon positif terhadap kesepakatan tersebut.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, kedua permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dianggap telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 5 Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan SE Jampidum Nomor 01/E/EJP/02/2022.
Oleh karena itu, JAMPIDUM menyetujui penghentian penuntutan kedua perkara tersebut berdasarkan keadilan restoratif.