PorosSulteng-Palu-Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Tengah, Prof. Dr. H. Zainal Abidin, M.Ag., menyerukan pentingnya membangun harmoni sosial melalui nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal. Hal ini ia sampaikan dalam pidato kebangsaan yang disampaikannya pada peringatan Hari Jadi Provinsi Sulawesi Tengah ke-61, Sabtu (13/4), di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Palu.
Prof. Zainal menjelaskna bahwa sejarah kelam konflik kemanusiaan di Poso pada awal 2000-an sebagai pelajaran berharga tentang mahalnya perdamaian. Menurutnya, meski konflik tersebut terbungkus identitas agama. Akar persoalannya adalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan ketidakadilan. Namun kini, kata dia, Poso telah bertransformasi menjadi simbol perdamaian berkat kerja keras banyak pihak, termasuk para tokoh agama.
“Dari luka bisa tumbuh harapan, dari konflik bisa lahir rekonsiliasi. Hari ini, Poso bukan lagi tanah konflik, tetapi menjadi simbol perdamaian,” tegas Prof. Zainal.
Ia kemudian mencontohkan praktik hidup berdampingan dalam sejarah Islam, khususnya Piagam Madinah yang disusun oleh Rasulullah SAW saat pertama kali hijrah ke Madinah. Menurutnya, dokumen tersebut merupakan konstitusi sosial pertama dalam sejarah umat manusia yang menjamin hak semua warga, baik Muslim maupun non-Muslim.
“Nilai-nilai dalam Piagam Madinah seperti keadilan, penghormatan terhadap perbedaan, dan penyelesaian konflik secara musyawarah, sangat relevan dan sejalan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” jelasnya.
Prof. Zainal juga mengajak masyarakat Sulawesi Tengah untuk meneladani kearifan lokal yang telah lama menjadi perekat sosial. Ia menyebut nilai-nilai seperti mosintuwu (gotong royong), nosimpati (empati), dan nosarara nosabatutu (bersatu dan saling membantu) sebagai kekayaan budaya yang perlu dirawat dan dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Di Lore, musyawarah adat lintas agama masih hidup menyelesaikan konflik lahan dan pernikahan campuran. Di masyarakat Kaili, nilai ‘maroso’ menekankan kejujuran dan pantang menyerah. Inilah wajah harmoni Sulawesi Tengah yang harus dijaga,” ujarnya.
Dalam konteks hari ini Prof. Zainal mengingatkan tantangan yang dihadapi masyarakat dalam menjaga harmoni, seperti maraknya ujaran kebencian di media sosial, menguatnya kelompok eksklusif keagamaan, dan penggunaan politik identitas. Untuk itu, ia menawarkan sejumlah strategi seperti pendekatan budaya, pelibatan generasi muda lintas agama, hingga penguatan konten damai di media sosial.
Ia juga memberikan apresiasi kepada Gubernur Sulawesi Tengah atas program “Sulteng Mengaji” dan “Sulteng Berjamaah” yang dinilainya sebagai upaya konkrit membangun kohesi sosial berbasis spiritualitas.
“Sulteng Mengaji tidak sekadar membaca kitab suci, tapi memahami dan mengamalkan nilai-nilainya. Sementara Sulteng Berjamaah mengajarkan kita tentang pentingnya bersatu dalam tujuan, saling mendukung, dan menjadikan pemimpin sebagai teladan,” katanya.
Prof. Zainal menutup pidatonya dengan pesan tentang pentingnya menjadikan nilai agama sebagai cahaya penuntun, bukan alat pemecah belah. Ia juga membagikan kisah bijak dari Tanah Kaili sebagai penegas bahwa agama sejatinya hadir dalam perilaku, bukan sekadar ritual.
“Jangan lihat agama tetanggamu dari cara ia sembahyang. Lihatlah dari caranya memuliakan tamu, menjaga janji, dan menolong saat kamu susah,” tandasnya
Sumber : FKUB Sulteng